KESENIAN LUDRUK JAWA TIMUR

ASAL USUL LUDRUK
Ludruk adalah kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk
merupakan suatu drama tradisional yang diperagakan oleh sebuah grup
kesenian yang di gelarkan disebuah panggung dengan mengambil cerita
tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan dan lain
sebagainya yang diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan
sebagai musik. Dialog/monolog dalam ludruk bersifat menghibur dan
membuat penontonnya tertawa, menggunakan bahasa khas Surabaya, meski
terkadang ada bintang tamu dari daerah lain seperti Jombang, Malang,
Madura, Madiun, Kediri dengan logat yang berbeda. Bahasa lugas yang
digunakan pada ludruk, membuatnya mudah diserap oleh kalangan non
intelek (tukang becak, peronda, sopir angkotan, dll).
Ludruk juga
termasuk jenis teater tradisional Jawa yang lahir dan berkembang di
tengah-tengah rakyat dan bersumber pada spontanitas kehidupan rakyat.
Ludruk disampaikan dengan penampilan dan bahasa yang mudah dicerna
masyarakat. Selain berfungsi sebagai hiburan, seni pertunjukan ini juga
berfungsi sebagai pengungkapan suasana kehidupan masyarakat
pendukungnya. Di samping itu, kesenian ini juga sering dimanfaatkan
sebagai penyaluran kritik sosial.
Ludruk mempunyai ciri khusus
sebagai berikut. Pemain ludruk semuanya terdiri dari laki-laki, baik
untuk peran laki-laki sendiri maupun untuk peran wanita. Oleh karena
biasa memainkan peran wanita, para pemain ludruk cenderung terbentuk
menjadi kelompok travesti. Bahasa yang digunakan dalam ludruk adalah
bahasa yang mudah dicerna masyarakat, yakni bahasa Jawa logat Surabaya.
Selain itu, sesuai dengan tuntutan cerita, di dalam bentuk seni ini
sering pula digunakan kata-kata Cina, Belanda, Inggris dan Jepang.
Selain dalam hal pemain dan bahasa, kekhasan ludruk juga terdapat dalam
cerita, dekorasi, kostum dan urutan pementasan.
Cerita ludruk dapat
dibedakan menjadi dua macam, yakni cerita pakem dan cerita fantasi.
Cerita pakem adalah cerita mengenai tokoh-tokoh terkemuka dari wilayah
Jawa Timur, seperti Cak Sakera dan Sarif Tambak Yoso. Cerita fantasi
adalah cerita karangan individu tertentu yang biasanya berkaitan dengan
kehidupan masyarakat sehari hari.
Hasil penelitian Suripan Sadi
Hutomo, menurut kamus javanansch Nederduitssch Woordenboek karya Gencke
dan T Roorda (1847), Ludruk artinya Grappermaker (badutan). Sumber lain
menyatakan ludruk artinya penari wanita dan badhut artinya pelawak di
dalam karya WJS Poerwadarminta, Bpe Sastra (1930). Sedangkan menurut
S.Wojowasito (1984) bahwa kata badhut sudah dikenal oleh masyarakat Jawa
Timur sejak tahun 760 masehi di masa kerajaan Kanyuruhan Malang dengan
rajanya Gajayana, seorang seniman tari yang meninggalkan kenangan berupa
candi Badhut.
Hingga sekarang belum didapat kepastian mengenai
tempat asal kelahiran ludruk. Usaha untuk menentukannya biasanya selalu
terbentur pada dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan
bahwa kesenian ini berasal dari Surabaya, sedang pendapat yang ke dua
menganggap bahwa ludruk berasal dari Jombang. Kedua pendapat ini
sama-sama kuat argumentasinya.
Menurut penuturan beberapa
narasumber dan kalangan seniman ludruk, embrio kesenian ludruk pertama
kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh
yang berasal dan desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan
kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan. Ia mengembara dan rumah ke
rumah. Dalam pengembaraannya ini Gangsar kemudian melihat seorang
lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu
berpakaian perempuan, dan ini dianggap Gangsar lucu dan menarik,
sehingga dia terdorong menanyakan alasan pemakaian baju perempuan
tersebut. Menurut si lelaki, ia memakai baju perempuan tersebut untuk
mengelabui anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia digendong
oleh ibunya. Menurut narasumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal
munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk.
Narasumber
lain menuturkan bahwa bermula dari pengembaraan seorang pengamen yang
bernama Alim. Seperti halnya Gangsar, dalam pengembaraannya, Alim
berjumpa dengan seorang lelaki yang sedang menghibur anaknya. Laki-laki
itu mengenakan pakaian wanita. Diceritakan bahwa Alim berasal dari
daerah Kriyan yang kemudian mengembara sampai ke Jombang dan Surabaya.
Dalam pengembaraannya Alim disertai oleh beberapa orang temannya.
Mereka bersama-sama memperkenalkan bentuk seni ngamen dan jogetan.
Kemudian kelompok Alim ini mengembangkan bentuk tersebut menjadi bentuk
seni yang berisi parikan dan dialog. Oleh karena tarian yang dibawakan
selalu menghentakkan (gedruk-gedruk) kaki, seni itu kemudian diberi nama
“ludruk”.
Menurut Hendricus Supriyanto, dosen Universitas Negeri
Surabaya dan juga peniliti ludruk, bahwa ludruk sebagai teater rakyat
dimulai tahun 1907 oleh Pak Santik dari Desa Ceweng, Kecamatan Diwek
Kabupaten Jombang. Diwek adalah kampung kelahiran Asmuni anggota
Srimulat, dan Kholik pelawak anggota Depot Jamu Kirun. Awalnya, ludruk
dimulai dari kesenian ngamen yang berisi syair-syair dan iringan musik
sederhana, Pak Santik berteman dengan Pak Pono dan Pak Amir berkeliling
dari desa ke desa. Pak Pono mengenakan pakaian wanita dan wajahnya
dirias coret-coretan agar tampak lucu. Dari sinilah penonton melahirkan
kata “Wong Lorek”. Akibat variasi dalam bahasa, maka kata “Lorek”
berubah menjadi kata “Lerok”. ludruk sudah mengalami metamorfosa yang
cukup panjang. kalau di ibaratkan sebuah perjalanan, ludruk sudah sangat
jauh berjalan, sudah sangat melelahkan. kalaupun dipaksa untuk
berjalan, pasti jalannya pun akan terseok-seok. Dibutuhkan energi baru
untuk membuatnya hidup lagi. butuh kreasi dan inovasi yang lebih segar,
dan mengemasnya menjadi sesuatu yang lebih ngepop, lebih kekinian.
Ludruk dari masa ke masa
Ditengarai, ludruk merupakan budaya rakyat yang lahir untuk
“memberontak” model kesenian keraton dan istana semacam wayang dan
ketoprak yang ceritanya terlalu elit dan tak menyentuh rakyat.
Cerita-cerita ludruk umumnya mengangkat masalah kehidupan orang kecil
sehari-hari dengan penggunaan bahasa yang lebih egaliter dan terkesan
“kasar” tanpa unggah-ungguh bila dibandingkan dengan bahasa yang
digunakan dalam pewayangan ataupun ketoprak.
Pada jaman revolusi,
ludruk bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan saja melainkan juga
sarana komunikasi antara pejuang bawah tanah dengan rakyat yang
menyaksikannya. Pakem- pakem yang terbentuk dalam aktivitas ludruk
menyimpulkan keadaan tersebut :
1. Tarian Ngeremo menyimpulkan
ejekan terhadap pria yang tidak ikut berjuang, pakaian dan dandanan
perempuan tetapi dimainkan oleh laki laki.
2. Weloed (wedo’ane
loedroek) membawakan lagu lagu pembuka yang akan memberikan gambaran
tentang situasi yang seharusnya dicita-citakan dalam kehidupan dimainkan
oleh banci-banci.
3. Ngidung membawakan syair-syair yang intinya
melambangkan apa yang seharusnya diperjuangkan oleh rakyat dalam situasi
dan kondisi yang ada saat ini. Ada empat alur yaitu :
a. Guyonan untuk mengesankan bahwa syair ini tidak serius
b. Serius, dimana menceritakan misi dan cerita sandiwara yang akan dibawakan
c. Guyonan yang sangat lucu, untuk menghapus kesan serius sebelumnya
d. Penutup dengan kesan permintaan maaf apabila ada pihak pihak yang tersinggung dengan apa yang telah dibawakan.
4. Sandiwara, yang merupakan sebuah drama yang menyimpulkan keadaan yang terjadi pada saat ini.
Ludruk
sandiwara secara realistis berani mengungkapkan keprihatinan masyarakat
yang sedang terjajah. Di samping itu, bentuk seni ini mengandung
unsur-unsur yang mendorong perjuangan. Kostum ludruk sendiri terdiri
dari warna merah dan putih yang mencerminkan bendera kebangsaan
Indonesia.
Pada zaman Jepang kesenian ludruk berfungsi sebagai
media kritik terhadap pemerintah. Ini tampak terutama dalam ludruk Cak
Durasim yang terkenal dengan parikan “Pagupon omahe dara, melok Nippon
tambah sengsara”. Dengan parikan serupa itu Cak Durasim ternyata
berhasil membangkitkan rasa tidak senang rakyat terhadap Jepang. Cak
Durasim akhirnya ditangkap dan meninggal dalam tahanan Jepang.
Pada
zaman Republik Indonesia, seni ludruk masih hidup dan berkembang
sebagai kesenian rakyat tradisional yang berbentuk teater. Hanya saja,
kalau pada masa sebeluninya kesenian ini berfungsi sebagai penyalur
kritik sosial, pada masa yang kemudian fungsinya bergeser menjadi
penyampai kebijaksanaan pemerintah. Selain itu, ludruk juga digunakan
sebagai media promosi barang dagangan tertentu oleh Sponsor tertentu.
Menurut Sensus Kesenian yang dilakukan oleh Kanwil P dan K Jawa Timur,
sampai tahun 1985 terdapat 58 perkumpulan ludruk dengan 1530 orang
pemain. Jumlah ini dapat dikatakan cukup banyak dan menunjukkan bahwa
minat masyarakat Jawa Timur (Surabaya) terhadap bentuk kesenian ini
masih cukup besar.
Pada tahun 1994 , grup ludruk keliling tinggal
14 grup saja. Mereka main di desa-desa yang belum mempunyai listrik
dengan tarif Rp 350. Grup ini didukung oleh 50- 60 orang pemain.
Penghasilan mereka sangat minim yaitu : Rp 1500 s/d 2500 per malam. Bila
pertunjukan sepi, terpaksa mengambil uang kas untuk bisa makan.
Sewaktu
James L Peacok (1963-1964) mengadakan penelitian ludruk di Surabaya
tercatat sebanyak 594 grup. Menurut Depdikbud propinsi jatim, sesudah
tahun 1980 meningkat menjadi 789 grup (84/85), 771 group (85/86), 621
grup (86/87) dan 525 (8788). Suwito HS, seniman ludruk asal Malang
mengatakan tidak lebih dari 500 grup karena banyak anggota group yang
memiliki keanggotaan sampai lima grup.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh komunitas loedroek ITB, perkembangan kesenian ludruk dibagi menjadi beberapa periode:
Periode Lerok Besud (1920-1930)
Kesenian yang berasal dari ngamen tersebut mendapat sambutan penonton.
Dalam perkembangannya yang sering diundang untuk mengisi acara pesta
pernikahan dan pesta rakyat yang lain.
Pertunjukkan selanjutnya ada
perubahan terutama pada acara yang disuguhkan. Pada awal acara diadakan
upacara persembahan. Persembahan itu berupa penghormatan ke empat arah
angin atau empat kiblat, kemudian baru diadakan pertunjukkan. Pemain
utama memakai topi merah Turki, tanpa atau memakai baju putih lengan
panjang dan celana stelan warna hitam. Dari sini berkembanglah akronim
Mbekta Maksud artinya membawa maksud, yang akhirnya mengubah sebutan
lerok menjadi lerok besutan.
Dalam ludruk besutan yang disamarkan
tidak hanya kritik sosial, tetapi juga nama para pemain seperti Jumino,
Rusmini, Singogambar dan sebagainya. Permainan ludruk besutan tersusun
dari tandakan (menari bebas), dagelan (lawak), dan besutan. Dalam ludruk
ini belum dikenal cerita yang utuh. Yang ada hanya dialog yang
dikembangkan secara spontan.
Dari tahun 1922 sampai dengan tahun
1930, ludruk mengalami perkembangan dengan masuknya secara
berangsur-angsur unsur-unsur cerita di dalamnya. Perkembangan ini banyak
dipengaruhi oleh peredaran film bisu di Indonesia. Ludruk yang telah
memasukkan unsur cerita disebut ludruk sandiwara. Jenis ludruk ini
menampilkan adegan-adegan cerita yang mencerminkan situasi kehidupan
masyarakat dan lingkungannya.
Periode Lerok dan Ludruk (1930-1945)
Periode lerok besut tumbuh subur pada 1920-1930, setelah masa itu
banyak bermunculan ludruk di daerah Jawa Timur. Istilah ludruk sendiri
lebih banyak ditentukan oleh masyarakat yang telah memecah istilah
lerok. Nama lerok dan ludruk terus berdampingan sejak kemunculan sampai
tahun 1955, selanjutnya masyarakat dan seniman pendukungnya cenderung
memilih ludruk.
Sejaman dengan masa perjuangan dr. Soetomo di bidang
politik yang mendirikan Partai Indonesia Raya, pada tahun 1933 cak
Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO). Ludruk inilah yang merintis
pementasan ludruk berlakon dan amat terkenal keberaniannya dalam
mengkritik pemerintahan baik Belanda maupun Jepang.
Ludruk pada masa
ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan kepada rakyat, oleh
pemain pemain ludruk digunakan untuk menyampaikan pesan pesan persiapan
Kemerdekaan, dengan puncaknya peristiwa akibat kidungan Jula Juli yang
menjadi legenda di seluruh grup Ludruk di Indonesia yaitu:
”Bekupon Omahe Doro, Melok Nipon Soyo Sengsoro”.
Periode Ludruk Kemerdekaan (1945-1965)
Ludruk pada masa ini berfungsi sebagai hiburan dan alat penerangan
kepada rakyat, untuk menyampaikan pesan pesan pembangunan. Pada masa in
Ludruk yang terkenal adalah “Marhaen” milik “Partai Komunis Indonesia”.
Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika PKI saat itu dengan mudah
mempengaruhi rakyat, dimana ludruk digunakan sebagai corong PKI untuk
melakukan penggalangan masa untuk tujuan pembrontakan. Peristiwa madiun
1948 dan
G-30 S 1965 merupakan puncak kemunafikan PKI.
Ludruk
benar-benar mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur. Ada dua grup ludruk
yang sangat terkenal yaitu : Ludruk Marhaen dan Ludruk tresna Enggal.
Ludruk Marhaen pernah main di Istana Negara sampai 16 kali, hal ini
menunjukkan betapa dekatnya para seniman ludruk dengan para pengambil
keputusan di negeri ini. Ludruk ini juga berkesempatan menghibur para
pejuang untuk merebut kembali Irian Jaya, TRIKORA II B yang memperoleh
penghargaan dari panglima Mandala (saat itu dijabat oleh Soeharto).
Ludruk ini lebih condong “ke kiri”, sehingga ketika terjadi peristiwa G
30 S PKI Ludruk ini bubar.
Periode Ludruk Pasca G 30 S PKI ( 1965 saat ini)
Peristiwa G30S PKI benar benar memporak- porandakan grup- grup Ludruk
terutama yang berafiliasi kepada Lembaga Kebudayaan Rakyat (lekra) milik
PKI. Terjadi kevakuman antara 1965-1968. Sesudah itu muncullah
kebijaksanaan baru menyangkut grup-grup ludruk di Jawa Timur.
Peleburan ludruk dikoordinir oleh ABRI, dalam hal ini DAM VIII Brawijaya. Proses peleburan ini terjadi antara tahun 1968-1970.
1. Eks-Ludruk marhaen di Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit
2. Eks-Ludruk Anogara Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma Unit II
3. Eks-Ludruk Uril A Malang dilebur menjadi Ludruk Wijaya Kusuma unit III,
dibina Korem 083 Baladika Jaya Malang
4. Eks-Ludruk Tresna Enggal Surabaya dilebur menjadi ludruk Wijaya Kusuma unit IV
5. Eks-Ludruk kartika di Kediri dilebur menjadi Ludruk Kusuma unit V
Diberbagai
daerah ludruk-ludruk dibina oleh ABRI, sampai tahun 1975. Sesudah itu
mereka kembali ke grup seniman ludruk yang independen hingga kini.
Dengan pengalaman pahit yang pernah dirasakan akibat kesenian ini,
Ludruk lama tidak muncul kepermukaan sebagai sosok Kesenian yang
menyeluruh. Pada masa ini ludruk benar- benar menjadi alat hiburan.
Sehingga generasi muda yang tidak mendalami sejarah akan mengenal ludruk
sebagai grup sandiwara Lawak.
Ludruk dan Legendanya
Beberapa
warga masyarakat yang ditemui dan diwawancarai secara acak, seperti
misalnya pengemudi becak, pegawai sebuah toko fotocopy, masih dapat
menceritakan dengan baik berbagai cerita ludruk, tokoh-tokoh ceritanya,
perkumpulan, serta pemain pemain ludruk yang terkemuka.
Bicara soal
ludruk, pasti yang terlintas di benak kita adalah Kartolo. Kartolo
adalah seorang pelawak ludruk legendaris asal Surabaya, Jawa Timur.
Beliau sudah lebih dari 40 tahun hidup dalam dunia seni ludruk. Nama
Kartolo dan suaranya yang khas, dengan banyolan yang lugu dan cerdas,
dikenal hampir di seluruh Jawa Timur, bahkan hingga Jawa Tengah. Kartolo
sudah aktif dalam dunia seni ludruk semenjak era tahun 1960-an. Ia
mendirikan grup ludruk Kartolo CS.
Kartolo CS terdiri dari
Kartolo, Basman, Sapari, Sokran, Blonthang, Tini (istri Kartolo),
tergabung dalam kesenian karawitan Sawunggaling Surabaya. Masing-masing
pemain punya karakter yang unik dan khas, dan punya semacam
‘tata-bahasa’ sendiri. Misalnya Kartolo yang menjadi paling cerdas,
sehingga sering diceritakan ‘ngakali’ pemain lain, Basman yang punya
suara besar dan omongan nyerocos, dan Sapari yang sering nakal tapi
malah jadi korban. Namun formasi emas ini tidak bertahan sampai
sekarang. Yang tersisa adalah Kartolo, Tini dan Sapari. Basman, Sokran
dan Blonthang sudah meninggal dunia. Sampai sekarang Kartolo dan Sapari
masih sering tampil di JTV (TV-nya Jawapos) di Surabaya.
Tentunya
bukan hanya Kartolo yang menjadi legenda ludruk. Ada nama-nama lain
seperi Cak Durasimn, Agus Kuprit, Sidik, Ning Lasiana, Markeso, Bawong
SN dan Umi Kulsum. Bahkan nama yang terakhir ini memperoleh penghargaan
Khusus dari Imam Oetomo, Gubernur Jatim atas pengabdiannya di dunia
Ludruk. Nenek yang menginjak usia 85 tahun ini telah lebih dari 55 tahun
mengabdikan diri sebagai seniman ludruk. 46 tahun diantaranya dilewati
bersama siaran ludruk RRI Surabaya. Meski tidak tamat dari sekolah
rakyat, atas kesetiannya bersama ludruk RRI, Umi Kulsum diangkat menjadi
pegawai negeri dengan pangkat golongan II A pada tahun 1981 oleh Ali
Murtopo, Menteri Penerangan saat itu. Sampai kini, meskipun jumlahnya
relatif sedikit dan dalam kondisi yang cukup memprihatinkan, masih ada
beberapa kelompok ludruk yang berkembang di Surabaya, Malang, Jombang,
dan sekitarnya, yang tetap aktif mengadakan pertunjukan, termasuk grup
Cak Kartolo Cs.
Saat ini kita masih menunggu munculnya grup-grup
ludruk baru yang akan menghidupkan kembali kejayaan kesenian ludruk.
Atau setidaknya kita masih mengingat nama-nama legendaris seperti Ludruk
Brata, Ludruk Dradjit, Ludruk Budi Utama, Ludruk Tjoleke, Ludruk
Kolekturan, Ludruk Budidojo, Ludruk Karen, Ludruk Bakri, Ludruk Murba,
Ludruk Drais Ludruk Banteng Marhaen, Ludruk Suluh Marhaen, Ludruk
Marhaen Muda, Ludruk Duta Masa, Ludruk Arum Dalu, Ludruk Putra Bahari,
Ludruk Odadi Kari, Ludruk Marhaen, Ludruk Tresna Enggal, Ludruk Mari
Katon, Ludruk Massa, Ludruk Sari Rukun, Ludruk Irama Enggal, Ludruk
Massa Rukun, Ludruk Panca Bakti, Ludruk Djoko Muntjul, Ludruk Sido Dadi
Slamet, Ludruk Mulya Kuntjara, Ludruk Aliran Baru, Ludruk Nusantara,
Ludruk Bond Malang Selatan, dsb. Yang tersebar di Jombang, Malang,
Surabaya dan sekitarnya.
Ludruk sebagai laboratorium kearifan
Proses hidup manusia sering diwarnai dengan serba kebetulan,
aksidential, tidak selalu bisa direncanakan dengan akal sehat
sebagaimana ajaran kompetisi hidup dalam filosofi kapitalisme dan
modernisasi yang menggurita saat ini. Dan ajaran terbaik dari ludruk
Kartolo adalah bagaimana menyikapi hidup dengan kesederhanaan, bukan
dengan pongah dan penuh nafsu. Contohnya adalah dalam salah satu
lakonnya, Ratu Cacing Anil, di mana Kartolo berperan sebagai Prabu
Minohek. Sebagai penguasa dan orang yang memiliki berbagai kasekten dan
keistimewaan, ternyata Prabu Minohek hanyalah mimpi. Prabu Minohek
hanyalah dagelan, ia sering bukan merupakan realitas yang diperankan
manusia sesungguhnya. Prabu Minohek hanyalah segumpalan arogansi untuk
menguasai segala sesuatu, sementara dirinya sendiri tidak tahu bahwa itu
semua hanyalah angan-angan. Ngglethek itu hanya mimpi.
Menurut
Dr. Sindhunata, budayawan serba bisa kelahiran Kota Batu, dalam bukunya
berjudul Ilmu Ngglethek, Prabu Minohek. Mengupas kiprah dan sosok grup
ludruk Kartolo Cs yang sudah tak asing lagi di Jawa Timur, dari sudut
pandang perjalanan kehidupannya dengan gaya features.
Ilmu ngglethek
adalah kesimpulan Sindhunata setelah menafsir gagasan dan banyolan
Kartolo Cs, baik atas pencermatan lakon yang dipentaskan maupun dari
jula-juli yang didendangkan. Ilmu ngglethek merupakan cermin akhir
segala perjalanan kehidupan manusia. Dalam berbagai cita-cita dan
harapan, manusia sering diperhadapkan dengan suatu kebetulan yang sering
terjadi begitu saja. Proses hidup manusia sering diwarnai dengan serba
kebetulan, aksidential, tidak selalu bisa direncanakan dengan akal sehat
sebagaimana ajaran kompetisi hidup dalam filosofi kapitalisme dan
modernisasi yang menggurita saat ini. Dan ajaran terbaik dari ludruk
Kartolo adalah bagaimana menyikapi hidup dengan kesederhanaan, bukan
dengan pongah dan penuh nafsu. Ilmu ngglethek merupakan cermin akhir
segala perjalanan kehidupan manusia. Dalam berbagai cita-cita dan
harapan, manusia sering diperhadapkan dengan suatu kebetulan yang sering
terjadi begitu saja.
Ludruk memberikan pelajaran kepada kita
mengenai bagaimana menjalani kehidupan dengan sederhana, tidak
neko-neko. Dan ini bukan bentuk eskapisme atas perjalanan hidup yang
dirasakan makin berat, sebuah eskapisme yang mengarah pada fatalisme dan
hanya menunggu keajaiban dari langit. Namun, memang itulah inti
kehidupan, hidup sederhana bukan berarti hidup tanpa kerja keras, tidak
neko-neko juga bukan berarti hidup tanpa cita-cita. Ada saat-saat
bagaimana kita harus arif memperlakukan kehidupan secara wajar dan
sesuai dengan kapabilitas dan kemampuan kita.
Bermain ludruk adalah
media pembelajaran untuk memahami seandainya aku menjadi orang lain.
Menjadi orang lain hanya bisa dilakukan dengan bermain sandiwara.
Sandiwara yang baik membutuhkan penghayatan peran yang mendekati
karakter yang diperankan, sehingga memahami bahwa tidak mudah menjadi
orang lain. Akhirnya sangat menyadari bahwa mengetahui diri sendiri dan
memainkan diri sendiri dengan baik adalah tujuan utama seorang manusia.
Tetapi pernah menjadi orang lain terutama yang kontroversial dengan
watak asli tidak dapat diajarkan, tetapi harus dialami sendiri (di
lewati). Bermain ludruk merupakan sarana untuk itu.
Ludruk
sebagai media bertutur sudah berhasil menempatkan posisinya dalam
kehidupan masyarakat. ludruk telah memperlihatkan peranan dalam
membangun sebuah forum sosial politik yang penting dan memberikan
komentar atas isu-isu sosial, kekuasaan, otoritas, dan identitas lokal
sebuah masyarakat pada suatu periode tertentu. Ludruk dipandang sebagai
dinamika yang secara efektif membangkitkan anggapan-anggapan yang
mendasar yang terdapat dalam pandangan dunia pendukungnya.
Berbagai
ekspresi masyarakat yang dinyatakan dalam tradisi lisan memang tidak
hanya berisi cerita dongeng, mitologi, atau legenda seperti yang umumnya
diartikan, tetapi juga mengenai sistem kognitif masyarakat, sumber
identitas, sarana ekspresi, sistem religi dan kepercayaan, pembentukan
dan peneguhan adat-istiadat, sejarah, hukum, pengobatan, keindahan,
kreativitas, asal-usul masyarakat, dan kearifan lokal mengenai ekologi
dan lingkungannya. Pengungkapan kelisanan tersebut disampaikan terutama
dengan mengandalkan faktor ingatan.
Ludruk setidaknya dapat
tersimpan dalam ingatan masyarakatnya dan menjadi tidak saja “living
memories”, tetapi juga “living traditions” yang dapat melintasi batas
waktu melalui penuturan turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Lintas waktu dan lintas generasi ini menandakan bahwa
ingatan mampu merekam berbagai ekspresi. Dan akhirnya, ludruk harus
segera berubah. perubahan yang lebih maju, lebih kekinian, perubahan
yang dapat merefleksikan dahulu dan kini. Karena perubahan adalah bukti
kehidupan. jadi tidak perlu takut dengan perubahan. Sebuah perubahan
akan terjadi kalau suatu komunitas menghendakinya. Kalau usul saya,
pemerintah propinsi Jawa Timur harus mengeluarkan keputusan bahwa di
setiap SMA dan Perguruan TInggi di Jawa Timur diwajibkan mempunyai
kegiatan kesenian ludruk. Dan di setiap tahun di adakan Festival Ludruk
se-Jatim, tentunya harus di liput di semua media cetak dan televisi
secara besar-besaran. Karena saat ini, media cetak dan televisi sangat
berperan dalam mempopulerkan sesuatu atau seseorang. Mengutip kata-kata
seniman popart Andy Warhol, “In the future everyone will be world-famous
for 15 minutes”.
Dengan segala usaha dan doa kita semua berharap
kesenian ludruk masih tetap ada dan mungkin suatu saat nanti akan
kembali besar. Semoga
…”yu..painten kleleken jendelo, cekap semanten gacoran kulo”…
(sonny bdoors, ludruk lovers)/artikel diambil dari berbagai sumber